Peristiwa terbunuhnya Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib, adalah salah satu titik balik paling tragis dan menentukan dalam sejarah Islam. Tragedi ini bukan sekadar tindakan kriminal, tetapi merupakan kulminasi dari perselisihan politik, ideologis, dan teologis yang dikenal sebagai Fitnah Besar (Al-Fitnatul Kubra). Untuk memahami siapa yg membunuh Ali bin Abi Thalib, kita harus menelusuri akar perpecahan ekstrem yang melahirkan faksi Khawarij dan memahami motivasi gila yang mendorong pembunuhan salah satu tokoh sentral dalam sejarah umat.
Nama sosok yang melakukan tindakan keji ini adalah Abdurrahman ibn Muljam al-Muradi. Ia adalah seorang anggota dari kelompok radikal Khawarij. Namun, hanya menyebut nama ini saja tidak cukup. Diperlukan penelusuran mendalam mengenai mengapa seorang Muslim, bahkan yang tergolong ahli ibadah menurut beberapa sumber, bisa sampai merencanakan dan melaksanakan pembunuhan terhadap seorang sahabat Nabi dan pemimpin umat Islam. Tindakan Ibn Muljam adalah cerminan sempurna dari kegagalan dialog politik dan bangkitnya fanatisme agama yang membenarkan kekerasan ekstrem.
I. Latar Belakang Ideologis: Lahirnya Khawarij
Ali bin Abi Thalib memimpin umat pada masa yang penuh gejolak setelah terbunuhnya Utsman bin Affan. Kepemimpinannya ditandai oleh perang saudara, terutama melawan Muawiyah bin Abi Sufyan dalam Perang Siffin. Perang ini menjadi panggung utama yang secara tidak terduga melahirkan faksi yang pada akhirnya akan merenggut nyawa Ali: kaum Khawarij.
Pada awalnya, Khawarij adalah bagian dari pasukan Ali. Mereka adalah kelompok yang sangat saleh secara lahiriah, dikenal karena intensitas ibadah mereka, puasa yang panjang, dan pembacaan Al-Qur'an yang khusyuk. Namun, kesalehan ini berpadu dengan pemahaman literal yang kaku terhadap teks-teks agama dan rasa superioritas moral yang berbahaya. Mereka menuntut Ali untuk terus berperang melawan Muawiyah sampai pihak Muawiyah kalah total.
Tahkim (Arbitrasi) dan Pemberontakan Ideologis
Titik pemicu utama yang menyebabkan mereka berpisah dari Ali adalah peristiwa Tahkim, atau Arbitrasi, setelah kebuntuan dalam Perang Siffin. Ketika pasukan Ali hampir memenangkan perang, pihak Muawiyah mengangkat mushaf (Al-Qur'an) sebagai seruan untuk menyelesaikan perselisihan melalui hukum Allah, bukan melalui pedang. Ali, atas desakan mayoritas pasukannya, setuju. Keputusan ini, yang dipandang Ali sebagai jalan untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut, justru dianggap oleh kelompok radikal ini sebagai pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip Ilahi.
Bagi kelompok yang kemudian dijuluki Khawarij (secara harfiah berarti 'mereka yang keluar'), menerima arbitrasi manusia (dua utusan, Abu Musa Al-Asy'ari dan Amr bin Ash) untuk memutuskan masalah yang menurut mereka telah diputuskan oleh Allah —bahwa Muawiyah adalah pemberontak yang harus dihukum— adalah dosa besar. Slogan mereka yang terkenal adalah, “La hukma illa Lillah” (Tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Mereka berpendapat bahwa Ali, dengan menerima arbitrasi tersebut, telah melakukan syirik (menyekutukan Allah dalam hukum) dan telah keluar dari Islam. Pandangan ekstrem ini kemudian menjadi dasar pembenaran mereka untuk menumpahkan darah siapa pun yang tidak sependapat dengan mereka.
Perang Nahrawan: Pukulan Mematikan
Ketika Khawarij memisahkan diri dan berkumpul di Nahrawan, mereka mulai melakukan kekerasan terhadap Muslim lainnya, bahkan membunuh seorang sahabat Nabi yang menentang pandangan mereka. Ali, menyadari bahwa kelompok ini telah menjadi ancaman internal yang lebih besar daripada Muawiyah karena kekerasan ideologis mereka, memutuskan untuk menyerang mereka. Dalam Perang Nahrawan, Ali berhasil mengalahkan Khawarij secara telak. Ribuan Khawarij tewas, namun sebagian kecil berhasil melarikan diri, membawa dendam yang membara. Dendam inilah yang nantinya akan diwujudkan oleh individu bernama Abdurrahman ibn Muljam.
Simbolisasi perpecahan ideologis yang melahirkan kaum Khawarij.
II. Abdurrahman ibn Muljam: Sosok di Balik Tragedi
Abdurrahman ibn Muljam al-Muradi berasal dari suku Muradi di Yaman. Sebelum menjadi pembunuh, ia dikenal memiliki reputasi religius yang cukup baik. Menurut riwayat, ia pernah dikirim oleh Ali sendiri ke Mesir untuk mengajarkan Al-Qur'an dan menjadi bagian dari delegasi yang tampaknya setia. Namun, setelah peristiwa Tahkim dan terutama setelah Nahrawan, kesetiaannya berubah menjadi kebencian fanatik yang didorong oleh doktrin Khawarij yang menganggap Ali sebagai kafir yang harus dibunuh.
Motivasi Ganda: Ideologi dan Asmara
Motivasi Ibn Muljam tidak murni hanya ideologis, melainkan diperkuat oleh elemen pribadi yang gelap. Setelah kekalahan di Nahrawan, ia pergi ke Mekkah. Di sana, ia bertemu dengan dua Khawarij lainnya, Al-Burak bin Abdillah dan Amr bin Bakr, dan mereka bersepakat untuk melakukan sesuatu yang mereka yakini akan "membersihkan" umat dari pemimpin-pemimpin yang mereka anggap sesat.
Di Mekkah, atau riwayat lain menyebutkan Kufah, Ibn Muljam bertemu dengan seorang wanita bernama Quttam binti Syijnah. Quttam adalah seorang Khawarij fanatik yang kehilangan ayah dan saudara laki-lakinya dalam Perang Nahrawan, di tangan pasukan Ali. Ia adalah simbol berjalan dari dendam Khawarij. Ibn Muljam terpesona oleh kecantikan Quttam dan melamarnya. Quttam menetapkan mahar (maskawin) yang luar biasa: 3.000 dirham, seorang budak laki-laki, seorang budak perempuan, dan yang paling penting, kepala Ali bin Abi Thalib.
Permintaan mahar ini secara efektif mengubah misi ideologis Ibn Muljam menjadi kewajiban pribadi yang ekstrem. Ia bersumpah kepada Quttam bahwa ia akan memenuhi mahar tersebut. Motivasi ideologis untuk membunuh seorang pemimpin yang dianggap sesat berpadu dengan hasrat pribadi yang didorong oleh sumpah asmara dan janji pernikahan. Kombinasi ini menjadikannya pembunuh yang sangat bertekad dan berbahaya.
III. Konspirasi Besar dan Pembagian Tugas
Pembunuhan Ali bin Abi Thalib bukanlah insiden tunggal, melainkan bagian dari sebuah rencana konspirasi besar yang bertujuan membunuh tiga pemimpin umat Islam yang dianggap Khawarij sebagai sumber perpecahan dan kesesatan. Rencana ini disusun oleh Ibn Muljam bersama dua Khawarij lainnya. Target mereka adalah:
- Ali bin Abi Thalib (Khalifah di Kufah) - Ditugaskan kepada Abdurrahman ibn Muljam.
- Muawiyah bin Abi Sufyan (Penguasa di Syam) - Ditugaskan kepada Al-Burak bin Abdillah.
- Amr bin Ash (Gubernur Mesir dan arsitek Tahkim) - Ditugaskan kepada Amr bin Bakr.
Mereka sepakat bahwa waktu pelaksanaan harus dilakukan pada saat yang paling sakral, agar tindakan mereka memiliki makna spiritual yang mendalam, yaitu pada pagi hari saat shalat Subuh di bulan suci Ramadan. Mereka yakin bahwa jika ketiga tokoh ini mati, kekhalifahan akan kembali kepada bentuk ideal yang mereka yakini, di mana hanya hukum Allah yang ditegakkan, tanpa intervensi manusia atau penguasa yang "menyimpang."
Nasib Dua Konspirator Lain
Meskipun mereka merencanakan pembunuhan serentak, hanya Ibn Muljam yang berhasil mencapai tujuannya:
- Al-Burak bin Abdillah (Muawiyah): Ia menyerang Muawiyah saat shalat Subuh di Damaskus. Muawiyah terluka parah di pantatnya, namun ia berhasil diselamatkan dan hanya menderita luka yang menyebabkan ia tidak dapat memiliki keturunan lagi. Al-Burak ditangkap dan dihukum mati.
- Amr bin Bakr (Amr bin Ash): Amr bin Ash sedang sakit pada hari itu, sehingga ia diwakilkan oleh seorang bernama Kharijah bin Hudzafah untuk memimpin shalat. Amr bin Bakr salah sasaran dan membunuh Kharijah bin Hudzafah. Ia pun ditangkap dan dieksekusi.
Hanya Ibn Muljam, yg membunuh Ali bin Abi Thalib, yang berhasil melaksanakan misi utamanya, meskipun dua target lainnya lolos atau diwakilkan. Keberhasilan tragis ini memastikan bahwa Ali menjadi korban tunggal dari konspirasi tiga pihak ini, mengguncang fondasi politik Islam secara permanen.
IV. Pelaksanaan Kejahatan di Masjid Kufah
Abdurrahman ibn Muljam tiba di Kufah dan bergabung dengan faksi Khawarij di kota tersebut. Untuk memastikan keberhasilan rencananya, ia mencari dukungan tambahan dan berkoordinasi dengan dua pembantunya di Kufah, Syabib bin Bajrah dan Wardan bin Majalid. Mereka bersembunyi di Masjid Agung Kufah, menanti Ali datang untuk memimpin shalat Subuh.
Menurut kebiasaannya, Ali bin Abi Thalib selalu memasuki masjid lebih awal, seringkali meneriakkan seruan untuk membangunkan orang-orang yang tertidur di dalam masjid, mengingatkan mereka akan waktu shalat. Ali, yang telah mengetahui banyak ramalan mengenai akhir hidupnya yang tragis, seringkali menunjukkan tanda-tanda kesadaran akan bahaya yang mengintai, namun ia tidak pernah menghindari tugasnya memimpin umat.
Pada tanggal 19 Ramadan, di tengah suasana hening sebelum fajar, Ali memasuki masjid. Saat Ali sedang meneriakkan seruan untuk shalat, atau saat ia baru saja mengambil posisi imam, Ibn Muljam dan Syabib melompat keluar dari tempat persembunyian mereka. Wardan melarikan diri, namun Ibn Muljam dan Syabib menyerang dengan pedang beracun yang telah disiapkan secara khusus.
Momen penyerangan terhadap Ali di Masjid Agung Kufah.
Pedang Beracun dan Luka Fatal
Syabib gagal mengenai Ali dan melarikan diri, tetapi Abdurrahman ibn Muljam berhasil menusukkan pedangnya yang telah diolesi racun mematikan ke kepala Ali, tepat di ubun-ubunnya (atau dahi, tergantung riwayat). Ali jatuh bersimbah darah. Dalam riwayat yang populer, Ali dilaporkan berteriak, "Fuztu wa Rabbil Ka'bah!" (Aku menang, demi Tuhan Ka'bah!), sebuah ungkapan yang menunjukkan bahwa ia menerima syahid sebagai sebuah kemenangan.
Meskipun terluka parah, Ali masih memiliki cukup kesadaran untuk memberi perintah agar Ibn Muljam ditangkap, tetapi ia memerintahkan agar pembunuhnya tidak dianiaya sebelum ia sendiri meninggal. Ali dirawat di rumahnya. Racun pada pedang itu begitu kuat sehingga para dokter mengatakan bahwa tidak ada harapan untuknya. Kesehatan Ali memburuk dengan cepat. Selama dua hari, Ali memberikan nasihat terakhirnya kepada putra-putranya, Hasan dan Husain, menekankan pentingnya persatuan, keadilan, dan tidak membalas dendam secara berlebihan.
Pada tanggal 21 Ramadan, tahun yang sama, Ali bin Abi Thalib wafat karena luka-luka tersebut. Peristiwa ini menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin (Khalifah yang Dibimbing dengan Benar), yang dimulai setelah wafatnya Nabi Muhammad.
V. Nasib sang Pembunuh
Ibn Muljam ditangkap oleh seorang prajurit bernama Al-Mughirah bin Naufal. Setelah Ali wafat, tanggung jawab atas nasib Ibn Muljam jatuh ke tangan Hasan bin Ali, putra sulung Ali dan pemimpin baru umat Islam di Kufah. Hasan dihadapkan pada dilema besar: membalaskan dendam sesuai hukum Islam (Qisas) atau menunjukkan kemurahan hati.
Ketika diinterogasi, Ibn Muljam dilaporkan menunjukkan kekaguman yang mengejutkan terhadap tindakannya sendiri. Ia tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa ia telah membeli pedangnya seharga seribu dirham dan meracuninya dengan racun seribu dirham, semata-mata untuk membunuh "orang terburuk di bumi" (yaitu Ali, menurut pandangan Khawarij). Fanatismenya begitu dalam, sehingga ia percaya tindakannya adalah sebuah ibadah yang akan membawanya ke surga.
Hasan bin Ali memutuskan untuk menegakkan keadilan sesuai hukum yang berlaku. Abdurrahman ibn Muljam al-Muradi dieksekusi sebagai pembalasan (qisas) atas pembunuhan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Eksekusi ini mengakhiri hidup individu yang, melalui ekstremitas ideologis, telah mengubah arah sejarah Islam selamanya.
Beberapa riwayat tambahan menyebutkan bahwa setelah eksekusi, jasad Ibn Muljam dibakar. Tindakan ini, yang jarang terjadi dalam sejarah Islam awal, menunjukkan betapa parahnya kejahatan yang ia lakukan dan betapa kuatnya kemarahan umat terhadap tindakan pengkhianatan di tempat ibadah tersebut.
VI. Warisan Berdarah dan Dampak Jangka Panjang
Pembunuhan Ali bin Abi Thalib oleh Ibn Muljam memiliki konsekuensi yang jauh melampaui kematian seorang pemimpin. Tragedi ini secara efektif mengakhiri peluang persatuan umat di bawah satu payung kepemimpinan spiritual dan politik yang disepakati secara luas. Kematian Ali membuka jalan bagi konsolidasi kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Konsolidasi Kekuasaan Muawiyah
Setelah wafatnya Ali, Muawiyah, yang saat itu telah memegang kendali atas Syam (Suriah), menjadi kekuatan politik yang tak tertandingi. Meskipun Hasan bin Ali sempat diangkat sebagai Khalifah, ia segera menyadari bahwa melanjutkan perang hanya akan menghasilkan pertumpahan darah yang lebih besar. Melalui perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Hasan-Muawiyah, Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah, dengan syarat-syarat tertentu. Penyerahan kekuasaan ini menandai dimulainya era Bani Umayyah, dan berakhirnya kekhalifahan yang didasarkan pada prinsip musyawarah para sahabat dekat Nabi.
Peningkatan Fanatisme Khawarij
Meskipun Khawarij telah kehilangan pemimpin mereka di Nahrawan dan konspirator utama mereka dihukum mati, ideologi mereka tidak mati. Sebaliknya, tindakan Ibn Muljam memperkuat gagasan Khawarij tentang takfir (pengkafiran) terhadap penguasa yang tidak mereka setujui. Mereka melihat Ali dan Muawiyah sama-sama bersalah dan terus menjadi duri dalam daging bagi semua rezim berikutnya, memperjuangkan kekhalifahan yang ideal dan utopis, yang hanya bisa dicapai melalui kekerasan dan pembersihan ideologis.
Warisan Khawarij yang ditunjukkan oleh yg membunuh Ali bin Abi Thalib adalah konsep bahwa kesalahan politik dapat disamakan dengan kekafiran, dan bahwa pembunuhan politik, jika dilakukan atas nama "hukum Allah," dapat dianggap sebagai tindakan saleh. Ideologi ini terus muncul dalam sejarah Islam dalam berbagai bentuk, selalu menggarisbawahi bahaya pemahaman agama yang ekstrem dan tidak toleran.
VII. Analisis Mendalam Mengenai Doktrin dan Mentalitas Ibn Muljam
Untuk benar-benar memahami tragedi yang menimpa Ali, kita harus menggali lebih dalam ke dalam psikologi dan doktrin yang mempengaruhi yg membunuh Ali bin Abi Thalib. Abdurrahman ibn Muljam bukanlah seorang penjahat biasa; ia adalah seorang ideolog. Tindakannya didasarkan pada interpretasi keagamaan yang ekstrem. Konsep kunci yang memandunya adalah gagasan tentang Al-Wala’ wal-Bara’ (Loyalitas dan Pelepasan), tetapi diterapkan dalam cara yang sangat sempit dan menghancurkan.
Konsep Takfir dan Ekstremitas
Khawarij adalah kelompok pertama dalam sejarah Islam yang secara sistematis mengembangkan doktrin takfir terhadap Muslim lainnya. Mereka percaya bahwa melakukan dosa besar, termasuk kesalahan politik seperti yang dilakukan Ali (menerima arbitrase), secara otomatis mengeluarkan pelakunya dari lingkup Islam. Bagi mereka, Ali dan Muawiyah adalah kuffar (orang-orang kafir) yang harus diperangi dan dibunuh. Ibn Muljam melihat Ali bukan sebagai Khalifah yang dihormati, melainkan sebagai musuh Allah yang telah menyimpang dari jalan yang lurus. Pandangan ini menghilangkan rasa bersalah moral yang biasanya mengiringi tindakan pembunuhan.
Dalam benak Ibn Muljam, tugasnya adalah melakukan jihad pembersihan. Ia tidak sedang membunuh seorang manusia; ia sedang menghancurkan sebuah simbol kekafiran yang telah menyebabkan kekacauan. Inilah yang menjelaskan mengapa ia tidak menunjukkan penyesalan. Ketika ia ditangkap dan diinterogasi, ia bangga dengan tindakannya. Ini adalah mentalitas yang mengagungkan ketaatan buta terhadap interpretasi dogmatis di atas kasih sayang dan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Peran Quttam dan Intensitas Kebencian
Pertemuan Ibn Muljam dengan Quttam binti Syijnah adalah katalisator yang sempurna. Quttam adalah personifikasi dari dendam Khawarij yang terluka. Ayah dan saudara Quttam tewas di Nahrawan, menjadikannya korban langsung dari tindakan Ali terhadap Khawarij. Ketika Quttam menetapkan mahar berupa kepala Ali, ia memberikan justifikasi emosional dan pribadi yang kuat bagi Ibn Muljam. Meskipun Ibn Muljam sudah memiliki keyakinan ideologis, mahar ini menambahkan lapisan urgensi dan romantisme yang gila pada rencana pembunuhan tersebut.
Kisah ini menekankan bagaimana ideologi ekstrem dapat dengan mudah memanfaatkan emosi pribadi, seperti hasrat dan cinta, untuk membenarkan kekerasan. Ibn Muljam melihat kesempatan untuk mencapai surga melalui jihad pembersihan sekaligus memenangkan wanita yang dicintainya. Perpaduan antara fanatisme agama dan hasrat pribadi ini menciptakan seorang pembunuh yang termotivasi tanpa batas.
Rincian Penggunaan Racun
Satu detail krusial dalam kisah yg membunuh Ali bin Abi Thalib adalah penggunaan racun pada pedangnya. Ini menunjukkan bahwa rencananya sangat terperinci dan fatalistik. Ibn Muljam tidak ingin melukai; ia ingin memastikan kematian. Pedang yang dilapisi racun adalah indikasi kehati-hatian strategis untuk menjamin bahwa bahkan luka yang tampaknya ringan pun akan menjadi fatal. Riwayat medis pada masa itu mencatat bahwa racun tersebut sangat cepat bekerja, menyebabkan demam tinggi dan pendarahan internal yang tidak dapat dihentikan. Ini menunjukkan premeditasi tingkat tinggi, jauh dari tindakan spontan.
VIII. Pengulangan Kontekstual: Ali, Arbitrase, dan Kebencian yang Tumbuh
Penting untuk mengulang dan mendalami mengapa Khawarij, dan khususnya Ibn Muljam, menempatkan Ali sebagai target utama, bahkan di atas Muawiyah yang secara politik lebih dominan di Syam. Khawarij membenci Muawiyah karena ia menantang Khalifah yang sah, tetapi mereka membenci Ali lebih dalam karena mereka menganggapnya sebagai munafik atau orang yang murtad setelah menerima kebenaran. Bagi mereka, Muawiyah adalah musuh yang jelas, tetapi Ali adalah seorang Muslim yang tersesat, dan ‘kemurtadan’ seorang pemimpin lama dianggap jauh lebih berbahaya dan layak mendapat hukuman yang lebih berat.
Dosa Besar Tahkim
Dalam doktrin Khawarij, keputusan untuk menerima Tahkim adalah dosa yang tidak termaafkan. Ali, dengan berkata, "Mari kita lihat apa yang diputuskan oleh kedua arbiter berdasarkan Al-Qur'an," secara tidak langsung mengakui bahwa hukum Allah dapat diinterpretasikan dan diputuskan oleh manusia. Bagi Khawarij yang kaku, ini adalah pelanggaran terhadap prinsip La hukma illa Lillah (Hukum hanya milik Allah). Mereka percaya bahwa pertempuran harus terus berlanjut karena hanya Allah yang berhak memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara dua pihak yang berseteru.
Kesalahan politik Ali, yang sebenarnya dimaksudkan untuk menyelamatkan nyawa, diterjemahkan oleh Khawarij menjadi kekafiran teologis. Setiap Khawarij yang selamat dari Nahrawan membawa trauma dan kebencian terhadap Ali, yang mereka anggap telah menumpahkan darah ‘saudara-saudara’ mereka, para pejuang sejati Islam, dan kemudian mundur dari perintah Allah untuk menghancurkan Muawiyah. Ibn Muljam adalah tangan yang melaksanakan hukuman kolektif yang diputuskan oleh ideologi fanatik ini.
Kufah: Sarang Konspirasi
Kufah sendiri memainkan peran penting. Sebagai pusat kekhalifahan Ali, Kufah adalah kota yang didominasi oleh perpecahan suku dan faksi yang berbeda. Ali sering mengalami kesulitan dalam mengendalikan pasukannya di Kufah, yang seringkali tidak disiplin dan mudah terpengaruh oleh agitasi. Lingkungan Kufah yang bergolak ini menyediakan tempat persembunyian yang ideal bagi yg membunuh Ali bin Abi Thalib untuk menyusun rencana tanpa terdeteksi oleh intelijen Ali yang sudah melemah.
Keputusan Ibn Muljam dan kawan-kawan untuk melakukan serangan di Masjid Kufah pada saat shalat Subuh tidak hanya menunjukkan keberanian ekstrem, tetapi juga niat simbolis. Dengan membunuh Ali di tempat ibadah, mereka ingin mengirimkan pesan bahwa tindakan mereka adalah tindakan religius yang suci, bukan pembunuhan politik belaka. Mereka mengorbankan diri mereka, secara harfiah atau metaforis, di altar keyakinan bahwa mereka sedang memulihkan Islam yang murni.
IX. Jejak Sejarah dan Pengaruh Teologis yang Abadi
Kisah Abdurrahman ibn Muljam dan pembunuhan Ali terus bergema dalam sejarah Islam dan teologi modern. Ibn Muljam menjadi simbol ekstremisme agama yang membenarkan kekerasan terhadap otoritas mapan dan sesama Muslim. Kisahnya menjadi studi kasus tentang bahaya radikalisasi ideologi.
Ibn Muljam sebagai Antitesis Keadilan
Sementara Ali bin Abi Thalib dihormati oleh umat Islam secara keseluruhan—sebagai figur keadilan, kesalehan, dan kebijaksanaan—Ibn Muljam diabadikan sebagai figur kekejaman, pengkhianatan, dan fanatisme. Kontras antara kedua tokoh ini sangat tajam. Ali, bahkan dalam saat-saat terakhirnya, menunjukkan keadilan dengan meminta agar pembunuhnya diperlakukan manusiawi sebelum ia sendiri meninggal, dan hanya dihukum sesuai dengan Qisas (pembalasan yang setimpal), bukan pembalasan yang berlebihan.
Sebaliknya, Ibn Muljam menunjukkan kekejaman dan kurangnya empati, bahkan merasa bangga telah membunuh pemimpin yang telah memperlakukannya dengan baik di masa lalu. Kesetiaan buta terhadap doktrin Khawarij telah mengikis semua ikatan kemanusiaan dan keagamaan yang seharusnya ia junjung tinggi.
Kelanjutan Khawarij dan Modernitas
Meskipun faksi Khawarij awal yang diwakili oleh yg membunuh Ali bin Abi Thalib hampir punah, prinsip-prinsip ideologis mereka—terutama pengkafiran (takfir) terhadap penguasa dan Muslim yang tidak sepaham—terus berulang dalam berbagai gerakan radikal sepanjang sejarah, hingga era kontemporer. Para sejarawan dan teolog sering menggunakan contoh Ibn Muljam untuk memperingatkan tentang bahaya ekstremitas, menekankan bahwa ibadah yang intens tanpa disertai kebijaksanaan dan pemahaman yang tepat dapat berubah menjadi kehancuran yang fatal.
Peristiwa ini mengajarkan bahwa perpecahan yang didasarkan pada interpretasi agama yang kaku dapat menyebabkan tragedi yang tidak terhindarkan. Ali, yang merupakan jembatan antara masa Nabi dan kekhalifahan yang akan datang, malah menjadi korban dari perpecahan yang ia coba atasi. Kematiannya menandai akhir dari impian persatuan umat Islam di bawah kepemimpinan yang ideal, sebuah impian yang hancur oleh pedang beracun yang dibawa oleh Abdurrahman ibn Muljam al-Muradi.
Tragedi yang menimpa Ali bin Abi Thalib di Kufah pada bulan Ramadan itu adalah sebuah peringatan abadi akan konsekuensi dari fanatisme. Yg membunuh Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman ibn Muljam, bukan hanya merenggut nyawa seorang pemimpin, tetapi juga merobek kain sosial dan politik umat Islam, menciptakan luka yang dampaknya masih terasa hingga hari ini, melahirkan garis pemisah antara faksi-faksi yang berbeda dalam Islam yang belum sepenuhnya sembuh.
X. Ringkasan Fatalitas dan Konklusi Sejarah
Rincian sejarah mengenai pembunuhan Ali bin Abi Thalib oleh Abdurrahman ibn Muljam al-Muradi memberikan gambaran kompleks mengenai bagaimana keyakinan agama yang ekstrem dapat diubah menjadi pembenaran untuk kekerasan politik. Ibn Muljam, seorang pria yang awalnya dikenal karena ketaatannya, bertransformasi menjadi seorang pembunuh yang termotivasi oleh kebencian ideologis terhadap Ali karena peristiwa Tahkim dan Pertempuran Nahrawan. Tragedi ini bukan kebetulan; ia adalah hasil dari konspirasi yang terencana dengan baik oleh sekelompok Khawarij yang bersumpah untuk menghancurkan apa yang mereka anggap sebagai kepemimpinan yang menyimpang.
Fokus pada sosok Ibn Muljam membantu kita memahami sifat perpecahan pertama dalam Islam. Khawarij menolak legitimasi Ali setelah ia setuju untuk menyerahkan perselisihan manusia kepada manusia, dan mereka melihat kematian Ali sebagai penebusan dosa dan pemulihan kemurnian iman. Mereka tidak melihat Ali sebagai Khalifah; mereka melihatnya sebagai seorang murtad yang harus dibunuh demi agama. Kepercayaan ini adalah inti dari ideologi Khawarij, yang menjadikan Ibn Muljam sebagai alat utama dalam skema pembalasan mereka.
Peristiwa tragis yang melibatkan Abdurrahman ibn Muljam memastikan bahwa era Khulafaur Rasyidin berakhir dengan darah, menggantikan model kepemimpinan berdasarkan prinsip-prinsip spiritual dan musyawarah dengan model dinasti Umayyah. Ini adalah warisan pahit yang ditinggalkan oleh yg membunuh Ali bin Abi Thalib. Setiap detail, mulai dari mahar Quttam hingga penggunaan racun, memperkuat narasi tentang betapa berbahayanya ketika doktrin agama yang kaku membenarkan pembunuhan di tempat ibadah suci. Kematian Ali bin Abi Thalib adalah puncak dari konflik internal yang tak terhindarkan, yang sayangnya, dijalankan oleh tangan seorang fanatik yang buta karena doktrinnya sendiri.
Sangat penting untuk terus mengingat nama Abdurrahman ibn Muljam, bukan untuk dihormati, melainkan sebagai peringatan sejarah tentang titik terendah yang dapat dicapai oleh kebencian ideologis. Ia adalah sosok yang menjadi instrumen malapetaka, menghancurkan kehidupan pribadi Ali dan memicu perubahan geopolitik yang mengubah wajah peradaban Islam secara mendasar dan permanen. Seluruh analisis ini membawa kita kembali kepada sosok Abdurrahman ibn Muljam al-Muradi, individu tunggal yang, didorong oleh ideologi Khawarij yang ekstrem dan dendam pribadi yang intens, berhasil menjalankan konspirasi yang direncanakan untuk membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib di fajar suci bulan Ramadan.